Rabu, 28 Juli 2010

kaliganeya.blogspot.com


Awal kedatangan dan penyebaran Islam di kepulauan Melayu-Indonesia tampak problematik dan rumit. Mulai masalah-masalah tentang sejarah awal kedatangan Islam sampai masalah tentang definisi Islam sendiri yang mendapat berbagai macam penafsiran dari berbagai sarjana dan terlebih sedikitnya data yang memungkinkan merekonstruksi sejarah yang dapat dipercaya.

Catatan-catatan asing terutama tentang catatan Arab, Cina, dan Barat juga merupakan informasi yang sangat penting. Meskipun demikian catatan-catatan asing bukan tidak bermasalah. Sebagian besar penulisnya adalah pelaku politik, ekonomi, bahkan misionaris Kristen yang perhatian utamanya spesifik membahas dalam bidang yang mereka geluti. Akibatnya sebagian besar informasi mereka berkaitan dengan perdagangan atau gambaran lain tentang Nusantara.



Lebih jauh lagi sebagian penulis tersebut menghabiskan waktunya di daerah pesisir atau kota-kota pelabuhan dan mereka jarang mendatangi daerah-daerah pedalaman. Oleh karena itu deskripsi mereka khususnya tentang kehidupan sosial-keagamaan sangat terbatas pada daerah-daerah urban. Selanjutnya pada sumber-sumber tertentu khususnya yang ditulis oleh para pengembara Eropa terkontaminasi oleh pemikiran Eropasentris yang menggambarkan kesalahpahaman mereka terhadap Islam.


Teori-teori tentang Islamisasi Nusantara

Perbedaan penafsiran sejarah penetrasi Islam ke wilayah kepulauan Nusantara adalah konsekuensi dari ketidaksepakatan para sarjana dan peneliti mengenai Islam yang sesungguhnya berimplikasi pada penelusuran sejarah Islam menurut pemahaman dan perspektif masing-masing. Sejumlah ahli mengajukan teori bahwa sumber Islam di kepulauan Melayu-Indonesia adalah anak benua India selain Arab dan Persia. Pijnappel mengemukakan dengan mengaitkan asal-usul Islam di Nusantara di Gujarat dan melebar dengan alasan orang-orang Arab bermadzhab Syafi'i bermigrasi dan menetap di daerah tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.

Ilmuwan Belanda lainnya Mosquette menyimpulkan bahwa asal-usul Islam di Nusantara berasal dari Gujarat berdasarkan logika linear dari batu nisan yang ditemukan kemudian disanggah oleh Fatimi dengan penemuan batu nisan yang sama di daerah Bengal, maka Islam nusantara berasal dari Bengal yang kini bernama Bangladesh.

Marrison membantah teori tersebut, karena daerah Gujarat masih dikuasai oleh kerajaan Hindu yang menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Islam, sehingga ia berpendapat bahwa Islam di nusantara berasal dari Coromandel pada akhir abad ke-13 yang tampaknya mendukung pendapat Arnold dan Crawfurd yang sudah menulis jauh sebelum Marrison mengemukakan teorinya dengan menegaskan bahwa Islam dibawa ke nusantara dari Malabar dan Coromandel berdasarkan pelbagai kesamaan madzhab di wilayah-wilayah tersebut. Ia juga mengemukakan bahwa kedatangan Islam di nusantara berasal dari wilayah arab.

Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan Barat dan Timur semenjak awal abad ke-7 dan ke-8, meskipun tidak ada hal ihwal yang menerangkan penyebaran oleh mereka, adalah penting mereka terlibat dalam penyebaran Islam kepada kaum pribumi. Keyzer menganggap bahwa Islam di nusantara berasal dari mesir berdasarkan adanya kesamaan madzhab.

Veth berargumen bahwa orang-orang arab melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam di pemukiman baru mereka di nusantara. Sejumlah ahli sejarah Indonesia sepakat dengan teori-teori Arab dan madzhab dengan menyimpulkan bahwa Islam datang langsung dari tanah Arab pada abad pertama hijriyah atau abad ke-7.

Sebagian ahli sejarah sepakat bahwa para juru dakwah pertama Islam adalah Maulana Malik Ibrahim yang mengislamkan penduduk Jawa dan berkali-kali membujuk Raja Hindu-Budha untuk memeluk Islam. Namun Islam mendapat momentum di istana Majapahit hanya setelah kedatangan Raden Rahmat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Sunan Ampel, yang kemudian diteruskan oleh Walisongo lainnya.


Teori "Balapan" antara Islam dan Kristen

Schrieke tidak percaya bahwa perkawinan campur kalangan para pedagang dan keluarga kerajaan menghasilkan orang-orang yang masuk Islam dalam jumlah besar dan dia tidak percaya bahwa penduduk pribumi sendiri secara umum termotivasi untuk mengajak penguasa mereka masuk Islam. Dalam pandangannya, ancaman agama Kristenlah yang mendorong penduduk dalam jumlah besar untuk masuk Islam. Jadi menurutnya, penyebaran dan ekspansi Islam secara masif adalah akibat dari persaingan umat Islam dan Kristen yang memenangkan pemeluk baru di kawasan nusantara, atau teorinya yang lebih dikenal dengan "teori balapan".

Namun A.H. Jhons dengan mempertimbangkan kemungkinan yang sangat kecil bahwa para pedagang memainkan peranan yang paling penting dalam ekspansi Islam dan dugaan motif yang bersifat ekonomi, politik, atau "balapan dengan Kristen" bagi bangsa Melayu-Indonesia. Dia mengemukakan bahwa pada kenyataannya para sufi pengembaralah yang secara luas menjalankan dakwah Islam. Mereka berhasil mengislamkan banyak penduduk di Melayu dan Indonesia, paling tidak semenjak abad ke-13. Keberhasilan dalam Islamisasi terutama disebabkan oleh kemampuan kaum sufi yang menyajikan Islam dalam bentuk yang menarik.

Sebagian sarjana dan peneliti mendefinisikan "Islam" dengan menggunakan kriteria formal yang sederhana, sedangkan yang lain mendefinisikan Islam dengan cara yang lebih sosiologis yang berimplikasi pada masalah-masalah kebudayaan, ekonomi, dan politik.

Permasalah semakin menjadi rumit karena kerangka acuan tertentu digunakan secara parsial oleh sebagian sarjana dan peneliti barat dalam kajian Islam di kepulauan Melayu-Indonesia untuk mengurangi secara konseptual tempat dan peran Islam bersama-sama dengan manifestasi sosial budayanya di kalangan muslim kepulauan Melayu-Indonesia.


Persaingan dan Hubungan Internasional

Secara geografis kepulauan Melayu-Indonesia terletak jauh dari wilayah kekuasaan dinasti kerajaan Islam di Timur Tengah sebagai pusat dari penyebaran Islam. Sehingga Islamisasi di daerah ini sangat berbeda dengan Islamisasi yang terjadi di wilayah lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Berlawanan dengan Islamisasi yang terjadi di wilayah Persia dan India yang dalam banyak hal mengalami Islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat. Para sarjana dan peneliti tentang kedatangan dan penyebaran Islam di kepulauan Melayu-Indonesia hampir sepakat dengan kenyataan Islamisasi kawasan ini umumnya terjadi dengan jalan damai. Walaupun terdapat sedikit kasus tentang penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim Melayu-Indonesia untuk mengorvensi rakyat atau masyarakat sekitarnya untuk menjadi Islam.

Berdasarkan geografis tingkat penerimaan Islam pada satu daerah berbeda dengan daerah lainnya tergantung pada waktu pengenalannya dan watak budaya lokal yang dihadapi. Umumnya penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan internasional cenderung menerima Islam dalam rangka untuk mempertahankan para pedagang muslim yang sudah lama berdagang untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan mereka sehingga mendiptakan suasana yang lebih mendukung dalam perdagangan. Berbeda dengan wilayah pedalaman, mereka umumnya hidup dari hasil agraris sehingga mereka tidak memerlukan semacam hukum perdagangan yang bersifat internasional menurut Islam.

Penerimaan Islamisasi yang terjadi adalah konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Sebagaimana yang diungkapkan sebagian besar historiografi awal Islam Melayu-Indonesia, pada umumnya orang-orang setempat menerima Islam karena mereka percaya bahwa Islam akan memenuhi materi dan alamiah mereka. Di kalangan mayoritas penduduk Islam hanya memberikan satu bentuk tambahan kepercayaan dan praktik yang dapat berubah sesuai dengan tujuan-tujuan tertentu. Sebagian besar juru dakwah Islam profesional di kepulauan Melayu-Indonesia adalah Walisongo di Pulau Jawa yang mengenalkan Islam kepada lokal bukan dalam bentuk eksklusifitas profetik, melainkan umumnya dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang mapan dan banyak diwarnai dengan takhayyul atau kepercayaan-kepercayaan animistik lainnya.

Menurut Schrieke, ekspansi portugis di nusantara pertama-tama mesti dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Dalam pandangannya, keinginan berpetualang dan ambisi untuk kehormatan yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan sebenarnya merupakan kekuatan pendorong yang menggerakkan ekspansi bangsa Portugis ke Asia. Schrieke mencatat persaingan yang tajam dan keras antara Islam dan Kristen. Namun konflik di antara keduanya jelas didorong bukan hanya oleh agama, melainkan juga oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Dengan kedatangan Portugis di Hindia pada 1948 sebagaimana yang dikemukakan Schrieke, dua kelompok yang bersaing antara umat Kristen dan kaum Muslim mulai saling berhadapan. Pada satu sisi terdapat kaum muslim yang sudah ratusan tahun tak tertandingi menguasai perdagangan yang luas dan menguntungkan sebagai penguasa Samudra Hindia. Mereka percaya bahwa kepentingan mereka, baik yang bersifat perdagangan maupun agama untuk berusaha sekuat-kuatnya menyingkirkan musuh manapun, terutama bangsa Eropa. Pada sisi lain ada bangsa Portugis Kristen yang memandang kaum muslim sebagai musuh alami mereka. Portugis terus-terang menyatakan sikap permusuhan dan ketidaksenangan mereka terhadap kaum muslim bersumber dari kondisi perang yang terus berlanjut antara umat Kristen dan kaum muslim di tempat-tempat lain.

Dengan pasukan angkatan perang sebagai kekuatan militer, Portugis mulai mengekspansi Malaka dan menguasainya. Namun mereka tidak dapat menaklukkan Aceh yang terbukti paling tangguh dan tak terkalahkan dari Portugis. Dan ditambah pembangunan hubungan internasional Aceh yang kuat dengan beberapa negara Timur Tengah khususnya kesultanan Usmaniyah dengan menyerang Portugis dalam beberapa kesempatan walaupun tanpa banyak hasil.


Perebutan Nusantara Timur

Di belahan Timur Nusantara terlibat perang sengit tidak hanya dengan kalangan penguasa muslim lokal tetapi juga dengan Spanyol. Penguasa Ternate Muslim pada khususnya menyambut hangat Portugis karena mereka berharap bahwa Portugis tidak hanya membeli rempah-rempah mereka, tetapi juga membantu melawan musuh-musuh mereka.

Untuk menghadapi aliansi politik dan ekonomi yang dekat antara Portugis dan Ternate, Sultan Tidore menggabungkan diri dengan Spanyol yang datang ke daerah Maluku setelah kematian Magellan. Spanyol tidak hanya membeli rempah-rempah dengan harga delapan kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan Portugis, tetapi tak kurang pentingnya juga memberikan gengsi yang tinggi kepada penguasa Tidore.

Secara alami pertarungan kompetitif antara Portugis dengan Spanyol dan pelbagai konflik di antara mereka membuat citra diri mereka merosot dalam pandangan kaum pribumi. Portugis dan Spanyol agaknya sadar bahwa permusuhan dan konflik di antara mereka hanya memberikan keuntungan kepada kaum muslim pribumi baik baik secara moral maupun material. Oleh karena itu, setelah Spanyol menyerahkan Tidore kepada Portugis, mereka menandatangani secara resmi Perjanjian Zaragoza tahun 1529 mengakhiri konflik mereka di Maluku. Dan setelah itu hubungan antara sultan Ternate dan Portugis semakin memburuk dan melakukan kebiadaban-kebiadaban. Namun Baabullah anak Sultan Harun yang ayahnya dibunuh oleh Portugis memanfaatkan kebiadaban Portugis untuk menggalang kekuatan muslim untuk mengusir Portugis keluar dari Ternate dan Baabullah berhasil dalam hal ini.

Kesuksesan Baabullah di Ternate dalam mengusir Portugis memberikan momentum yang sangat kuat dalam Islamisasi lebih jauh di Maluku dan secara keseluruhan. Sultan Baabullah misalnya memaksa sebagian pendukung Portugis Kristen untuk masuk Islam sebagai tanda atas kesetiaan kepada kekuasaannya. Baabullah menjadi propagandis Islam yang efektif selama kekuasaan ayahnya dan setelah kemenangannya dia dapat menyebarkan Islam secara leluasa ke berbagai wilayah Ambon, Buton, Selayar, serta beberapa wilayah pesisir Sulawesi Utara dan Timur, dan bahkan Mindanau Selatan yang sekarang menjadi wilayah bagian selatan Filipina.

Sesuai dengan mispersepsi mereka terhadap Islam, percaya bahwa selama masa perang suci ini, sultan mengenalkan "banyak Nabi Palsu berbangsa Arab dan Persia ke Maluku, mengirim utusan dan misionaris ke Brunai, Mindanau, Jawa dan Aceh untuk memberikan semangat perang suci."

Hasilnya, selama permintaan Sultan Baabullah (1570-1583), dan sampai Belanda datang pada 1600, terdapat kesetiaan keagamaan yang sulit dikalahkan suku-suku Maluku, namun terdapat perasaan keislaman yang lebih kuat dibandingkan dengan masa sebelumnya atau sejak diterimanya Islam sebagai esensial dari kesetiaan terhadap penguasa Ternate.

Pada sisi lain harapan Portugis (juga Spanyol) akan terjadinya konversi besar-besaran penduduk lokal ke dalam Kristen di Maluku tidak bisa terwujud. Sebagaimana yang dikemukakan oleh de Graaf, hal itu membuktikan gagalnya harapan Kristenisasi, hanya sedikit orang yang dibaptis. Bahkan, Uskup Agung Asia, Francis Xafier yang berada di Maluku pada tahun 1546-1547 tidak dapat mencabut pengaruh Islam di sana. Kegagalan itu juga berkaitan dengan merosotnya citra Portugis dan juga Spanyol yang diakibatkan banyaknya orang Portugis yang bertindak salah terhadap kaum muslim pribumi, dan administrasi yang korup dan beberapa perwakilan resmi Portugis di Maluku.

Akhirul kalam, semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat kepada semua pembaca yang gemar menelaah Sejarah Peradaban Islam di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar